Terbitan

Cermin Poskolonial Rick Honings, Coen van ‘T Veer & Jacqueline Beel (Penyunting), Cermin Poskolonial : Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda. Penerjemah: Rhomayda Alfa Aimah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2024, xi+430 hlm.

Fiksi merupakan produk dari sebuah kenyataan/faktor yang turut membentuk kenyataan. Buku Cermin Poskolonial ini adalah salah satu cara mendekati sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia melalui kajian sastra dari tahun 1860-2019. Pada tahun 2021, buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul De postkoloniale spiegel: De Nederlands-Indische letteren herlezen.

Para peneliti yang terlibat dalam penyusunan buku ini mengkaji sastra Hindia Belanda menggunakan pendekatan poskolonial sebagai payung besarnya, dengan perspektif-perspektif yang lebih signifikan. Cermin Poskolonial menawarkan sebuah model pembacaan kritis, retrospektif, dan reflektif terhadap sastra untuk mempelajari masa lalu dan menyajikan cerita-cerita dengan tokoh, latar, dan tema yang beragam.

Snouck HurgronjeWim van den Doel, Snouck : biografi ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronje. Penerjemah: Susi Moeimam, Nurhayu Santoso, dan Maya Sutedja-Liem. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2023, xv+553 hlm.

Snouck menjalani aneka kehidupan yang penuh pertualangan. Waktu mudanya dia meneliti dan hidup di Makkah sebagai muslim dan menempuh pelajaran di Masjidil Haram. Kemudian dia menjadi penasihat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda dan merancang kebijakan pemerintahannya berkaitan dengan Islam. Bersama dengan Jenderal Van Heutsz dia memperjuangkan penaklukan Aceh. Wim van den Doel melukiskan kehidupan Snouck yang luar biasa aktif dan kompleks. Relief itu dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa drastis yang terjadi di Eropa, Timur Tengah, dan Indonesia; peristiwa-peristiwa yang menorehkan sejarah dari berbagai temuan, perang, penjajahan, emansipasi, dan keinginan mendapatkan kebebasan.

 

Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt, Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti (1945-1950). Penerjemah: Susi Moeimam, Nurhayu Santoso, dan Maya Sutedja-Liem. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2023, xxvi+506 hlm.

Deklarasi kemerdekaan telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, namun perjuangan kemerdekaan adalah suatu proses yang kompleks, penuh dengan perkembangan dan hasil yang tidak terduga. ‘Merdeka’ merupakan kata penyemangat di masa-masa menegangkan kala itu. Seruan yang menyatukan orang-orang yang berada di tengah ketidakpastian dan bahaya. Satu hal penting dari buku ini adalah kehadiran banyak peristiwa, tokoh, atau interpretasi yang tidak menjadi arus utama atau bahkan tidak pernah ada dalam cerita klasik tentang periode ini, baik dalam tradisi historiografi Indonesia maupun Belanda. Penulis buku ini tidak hanya mendokumentasikan dan menjelaskan, melainkan juga mengingatkan dan menyadarkan semua pihak bahwa Indonesia dan Belanda pernah berinteraksi dalam waktu lama dalam sejarah umat manusia yang mencapai puncaknya pada periode 1945-1950.

 

DR. H.J. De Graaf, Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: Penerbit MataBangsa; KITLV-Jakarta, 2023, Cetakan II Edisi Revisi, xxviii+358hlm.

Buku ini, yang merupakan bagian ke-2 riwayat Mangkurat I yang memerintah Mataram sejak kematian Sultan Agung, secara khusus menyoroti perkembangan yang terjadi di dalam istana dan keadaan dalam negeri kerajaan yang menyebabkan Mangkurat I terpaksa meninggalkan ibu kota. Kedudukan sang raja, dengan basis kekuasaan yang terus menciut, semakin dipersulit oleh Tindakan kekerasan dari luar, pemberontakan dari dalam, dan tidak kurang pentingnya perilaku putra mahkota yang kacau. Kendati mendapat bantuan dari VOC, akhirnya serangan Trunajaya dan sekutunya tidak terbendung. Dalam suasana anarkistis dan panik, raja yang sudah jompo meninggalkan kediamannya untuk mengungsi dan kemudian wafat.

Anton Stolwijk, Aceh; Kisah datang dan terusirnya Belanda dan jejak yang ditinggalkan. Penerjemah: Susi Moeiman dan Nurhayu Santoso. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, Cet 1 (2021), xxiii+248hlm.

Karya tulisan Anton Stolwijk berjudul Aceh: Kisah datang dan terusirnya Belanda dan jejak yang ditinggalkan (terjemahan dari Atjeh; Het verhaal van de bloedigste stridj uit de Nederlandse koloniale geshiedenis, Uigeverij Promotheus, Amsterdam, 2016) menceritakan tentang Perang Aceh (1873-1942) yang merupakan salah satu lembar terhitam dalam sejarah Belanda. Pertempuran antara kolonial Belanda melawan kaum muslim Aceh.

 

Sang Penasihat

HJ. Friedericy, Sang Penasihat. Makassar: Penerbit Ininnawa; KITLV-Jakarta, Edisi revisi (2021), xiii+104hlm.

Karya tulisan HJ. Friedericy berjudul Sang Penasihat ini (terjemahan dari judul asli De Raadsman, Em. Querido’s Uitgeverij B.V. Amsterdam, 1973) merupakan novel sejarah menceritakan kehidupan masyarakat Makassar pada tahun-tahun awal hinggal pertengahan abad ke-20, dengan latar belakang Sungguminasa yang masih desa kala itu dan kampung-kampung di wilayah Gowa yang berada di kaki Lompobattang. Karya sastra ini menjadi referensi penting peralihan masyarakat kultural-tradisional ke tatanan pemerintahan modern.

 

DR. H.J. De Graaf, Disintegrasi Mataram : Di bawah Mangkurat I. Editor: Aryani Agata Barata. Yogyakarta: Penerbit MataBangsa; KITLV-Jakarta, Edisi revisi, cetakan kedua (2022), xxii+401 hlm.

Karya tulisan DR.H.J. De Graaf membicarakan awal masa pemerintahan Mangkurat I, yang dinobatkan menjadi Sunan Mataram. Mewarisi kebesaran Mataram dari pendahulunya, Mangkurat menggangap dirinya sebagai penguasa tertinggi.

Terbitan 2021

H.J. Friedericy, Sang Jenderal. Makassar: Penerbit Ininnawa; KITLV-Jakarta, Edisi revisi (2021), xiv +174 hlm.

Karya tulisan H.J. Friedericy berjudul Sang Jenderal ini (terjemahan dari judul asli De Laatste Generaal, Em. Querido’s Uitgeverij B.V. Amsterdam, 1984) merupakan novel sejarah yang menceritakan masyarakat Pulau Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis, pada tahun 1870-an hingga ditaklukkan oleh Belanda pada 1908. Novel ini adalah karya klasik yang berguna sebagai referensi dalam penelitian sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan selama masa kolonial abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

H.J. De Graaff, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Yogyakarta: Matabangsa; KITLV-Jakarta, Cetakan IV Edisi Revisi (2020), xiii + 246 hlm.

Karya tulisan H.J. de Graaf ini (terjemahan De Regering van Panembahan Senapati, ‘-Gravenhage: Nijhoff, 1954) merupakan karya pertama dari serangkaian bukunya tentang sejarah raja-raja Jawa Mataram. Tulisan yang kontroversial ini berusaha menyingkap tabir kurun sejarah abad ke-16 tentang riwayat kebangkitan Mataram pada masa pemerintahan Senapati, didasarkan baik pada sumber Jawa (kronik-kronik pribumi) maupun Eropa (Belanda dan Portugis). Dengan paparannya yang menggambarkan budaya politik di masa itu dengan aspek-aspek pengaruh Islam dan Jawa, buku ini telah menambah khazanah studi sejarah Indonesia.

 

Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5: 1950-2007. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2020, xviii + 475 hlm.

Jilid kelima biografi Tan Malaka memuat riwayat petualangan peringatan Tan Malaka dan percobaan Partai Murba untuk menjadi partai kiri yang terbesar. Tan Malaka sendiri hampir dilupakan, khususnya waktu Orde Baru. Sesudah itu ada kebangkitan kembali Tan Malaka. Banyak buku dari dan mengenai Tan Malaka diterbitkan. Bahkan kuburannya dibuka dalam tahun 2009. Partai Murba hidup merana, dan sekarang tidak ada kegiatan lagi. Yang paling aktif sekarang ialah keluarga adat Tan Malaka, yang didukung oleh pemerintah provinsi. Tetapi, sosok Tan Malaka masih kontroversial.

 

Harry A. Poeze, Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi.Jilid 4: September 1948 – Desember 1949Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, Cetakan kedua (2020), viii +489 hlm.

Jilid keempat biografi Tan Malaka meliputi periode dramatis setelah pembebasan Tan Malaka sampai ia menghilang pada Februari 1948. Setelah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa, Tan Malaka dieksekusi oleh satuan lokal TNI di desa Selopanggung, 21 Februari 1949. Kematiannya dirahasiakan. Sesudah 58 tahun barulah terungkap lokasi, tanggal, dan pelakunya, yaitu dalam edisi asli buku ini yang berbahasa Belanda (2007). Kematian Tan Malaka tidak mengakhiri gagasan radikalnya. Sampai akhir 1949 para pendukungnya terlibat dalam aksi-aksi gerilya melawan TNI, dan pemimpin Republik. Namun, dukungan rakyat ternyata tidak memadai sehingga kekalahan tidak dapat dihindari. Buku ini secara mendetail menggambarkan hal ikhwal perlawanan radikal tersebut. Bab akhir mendokumentasikan pencarian lokasi kuburan Tan Malaka, penggalian jenazahnya pada tahun 2009, serta hasil autopsi.

Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, Vol. 20. No.1 (2019): Indonesian heritage and library collections I. viii, 178 pages.

Publikasi dengan tema “Indonesian heritage and library collections” merupakan publikasi khusus yang terinspirasi dari perayaan 50 tahun KITLV-Jakarta pada tahun 2019. Dalam rangka perayaan ulang tahun yang ke 50, KITLV-Jakarta bekerjasama dengan LIPI pada tanggal 25 Juni 2019 telah menyelenggarakan seminar internasional dengan tema yang sama dari jurnal ini.

 

Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, Vol. 20. No.2 (2019): Indonesian heritage and library collections II. ii, 179-374 pages.

Publikasi ini merupakan bagian dari tema “Indonesian heritage and library collections” yang dihasilkan dari kerjasama antara Wacana, Journal of The Humanities of Indonesia dan KITLV-Jakarta. Publikasi ini dihasilkan dari para peneliti yang menggali khasanah warisan dan kebudayaan Indonesia.

Kedua publikasi ini dirasa khusus karena adanya kerjasama internasional antara Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, KITLV-Jakarta, dan peneliti dari Universitas Melbourne yang memiliki keahlian spesialisasi di bidang sejarah, warisan budaya, dan koleksi museum yang berhubungan dengan Indonesia.

Kedua publikasi bisa diunduh melalui http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/issue/view/47 dan http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/issue/view/48

Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942. Penyunting: Leo van Bergen, Liesbeth Hesselink, dan Jan Peter Verhave; penerjemah: Ninus Andarnuswari; penyunting terjemahan: Aryani Agata Barata dan Uswatul Chabibah. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), KITLV-Jakarta. xvii, 539 pp.
Buku ini tidak sekadar menggambarkan sejarah kedokteran dan pelayanan kesehatan pada masa kolonial, tetapi juga sejarah munculnya kedokteran tropis, melalui artikel-artikel ilmiah yang terbit pada periode 1852-1942 dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GTNI). Jurnal ini merupakan sumber utama penulisan buku, dan hampir seluruh artikel dalam jurnal tersebut ditulis dalam Bahasa Belanda. Maka diterbitkan pula dalam Bahasa Indonesia, sehingga muatan GTNI dapat dipahami oleh lebih banyak pembaca.

Kerajaan Islam pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Dr. H.J. De Graaf dan Dr. TH.G.TH. Pigeaud; penerjemah: KITLV; penyunting: Aryani Agata Barata. Yogyakarta: Penerbit MataBangsa, Jakarta: KITLV-Jakarta, Cetakan V Ed. Revisi (2019), xxiv, 473 pp.
Inilah buku karya de Graaf dan Pigeaud, dalam usaha mereka untuk mengisi kekosongan penulisan tentang sejarah politik di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Periode tersebut adalah masa ketika muncul banyak pusat-pusat kekuasaan baru yang saling berkompetisi untuk membangun hegemoni atas Jawa pasca runtuhnya Majapahit. Periode ini juga merupakan suatu periode sejarah yang oleh orang-orang Jawa Tengah dianggap sebagai suatu transisi dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang Hindu-Buddha ke Kerajaan Mataram yang Islam.

Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947. Harry A. Poeze; penerjemah: Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Cetakan kedua (2019), x, 400 pp.
Jilid kedua biografi Tan Malaka menggambarkan secara rinci nasib Tan Malaka dan pengikutnya dalam tawanan. Ia difitnah sebagai dalang di balik peristiwa 3 Juli 1946 untuk menyelubungi fakta bahwa peristiwa itu sebetulnya menyerupai kup Panglima Besar Soedirman yang ingin berkuasa. Dalam risalah yang menegangkan rahasia Peristiwa 3 Juli diungkapkan. Walaupun Tan Malaka masih dalam tawanan, teman-teman sehaluannya berhasil muncul kembali sebagai oposisi melawan Perjanjian Linggajati yang dianggap sebagai kapitulasi terhadap Belanda. Akan tetapi semuanya berakhir dengaan kekalahan lagi.

Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid 1: Agustus 1945 – Maret 1946. Harry A. Poeze; penerjemah: Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Cetakan ketiga (2019), xix, 376 pp.
Jilid pertama biografi Tan Malaka menggambarkan secara rinci kembalinya Tan Malaka, yang dalam waktu singkat bagaikan meteor di tengah kehidupan politik Indonesia. Buku ini memberi banyak ruang bagi hubungan intern di dalam Republik Indonesia. Berhadapan dengan Tan Malaka ialah empat sekawan pimpinan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjafroeddin serta gerakan komunis-sosialis yang berpengaruh dan yang menuduh Tan Malaka sebaggai penganut Trotsky.

Pelayaran dan Pengaruh Kebudayaan Makassar Bugis di Pantai Utara Australia. A.A. Cense dan H.J. Heeren; penerjemah: A.B. Lapian; penyunting: Aryani Agata Barata. Yogyakarta: Penerbit Ombak, Jakarta: KITLV-Jakarta, xiii, 87 pp.
Peta Asia Tenggara yang dibuat orang Bugis kira-kira pada tahun 1828 memberi kesan betapa jauh dan luasnya wilayah pelayaran orang-orang Bugis dan Makassar pada waktu itu. Bahkan sampai ke bagian utara Australia, yaitu tanah Marege. Hubungan antara Sulawesi Selatan dan tanah Marege inilah yang menjadi pokok pembicaraan dari kedua karangan (“Indonesische cultuurinvloeden in Australië” & “Makassaars-Boeginese prauwvaart op Noord-Australië”) yang sekarang terbit di bawah satu judul, Pelayaran dan Pengaruh Kebudayaan Makassar Bugis di Pantai Utara Australia.

Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Editor: Roger Tol, Kees van Dijk, dan Greg Acciaioli (ed.); penerjemah: Tim Ininnawa; editor terjemahan: Abdul Rahman Abu. Makassar: Ininnawa, Jakarta: KITLV-Jakarta, Cetakan II (Juli 2019), vi, 353 pp.

Ada beragam citra dan stereotip tentang orang Bugis, Makassar, dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan. Seringkali gambaran yang ada saling bertentangan. Mereka, misalnya, dilukiskan di satu sisi sebagai pelaut ulung yang berani dan perantau yang lihai tetapi di sisi lain sebagai pemeluk agama Islam yang fanatik namun juga pemuja benda pusaka kerajaan tradisional. Citra dan stereotip itu memerlukan kajian lebih lanjut. Dalam buku ini pelbagai topik berikut dibahas: dokumen kolonial versus naskah pribumi; homogenitas Sulawesi Selatan ditinjau dari perspektif budaya dan politik; hubungan antara status dan kekuasaan; kepemimpinan dan hubungan patron-klien; pengaruh asing dan budaya lokal; posisi Sulawesi Selatan dalam jaringan perdagangan internasional; budaya daerah dan pembangunan sosial-ekonomi; diaspora. Kesemua topik ini menyinggung transaksi, tradisi, dan teks, yang berhubungan dengan soal kuasa dan usaha dalam masyarakat Sulawesi Selatan.

J. Noorduyn, Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno. Yogyakarta: Penerbit Ombak; Jakarta: KITLV-Jakarta, xii, 94 pp.

This booklet is a revised edition of an earlier published translation of Noorduyn’s article on “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source”. It was originally published in the Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 138, pp 247-266. In this book, Noorduyn recounts Bujangga Manik’s journeys throughout Java and Bali, focusing on the topographical data of the journey by following the route taken by Bujangga Manik.

J. Noorduyn, Islamisasi Makassar. Yogyakarta: Penerbit Ombak; Jakarta: KITLV-Jakarta. xiii, 54 pp.

This booklet is a revised edition of an earlier published translation of Noorduyns article on “De Islamisering van Makassar”. It was originally published in the Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 122 (1956), pp 247-266. This work is significant as it relates to important historical events in South Sulawesi in connection with the introduction of Islam. By comparing information gained from local manuscripts with European sources Noorduyn was able to more accurately establish the timing of the first introduction of Islam In South Sulawesi.

Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Yogyakarta: Penerbit Ombak; Jakarta: KITLV-Jakarta, xii, 92 pp. Author: J.H. Neumann, Translator: Ny. J. Siahaan-Nababan, Second Edition Editor: Isye Siti Asyiah. This is a re-published edition by Penerbit Ombak with cooperation with KITLV-Jakarta. The first edition was published by Bhratara (Jakarta, 1972).

La Galigo: Menurut Naskah NBG 188, jilid 1. Jakarta: KITLV-Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia; Yayasan La Galigo, xi, 527 pp. Compiled by Rétna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa, translated by Muhammad Salim, edited by Fachruddin Ambo Enre†. This is a revised reprint of volume one of the translation of the La Galigo manuscript that was originally published in 1995. Co-editors Nurhayati Rahman, Sirtjo Koolhof, Roger Tol.

 

La Galigo: Menurut Naskah NBG 188, jilid 2. Jakarta: KITLV-Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia; Yayasan La Galigo, x, 560 pp. Compiled by Rétna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa, translated by Muhammad Salim, edited by Fachruddin Ambo Enre†. This is a revised reprint of volume two of the translation of the La Galigo manuscript that was originally published in 2000. Co-editors Nurhayati Rahman, Sirtjo Koolhof, Roger Tol.

 

La Galigo: Menurut Naskah NBG 188, jilid 3. Jakarta: KITLV-Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia; Yayasan La Galigo, xv, 618 pp. Compiled by Rétna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa, translated by Muhammad Salim, edited by Fachruddin Ambo Enre†. This is the first edition of the third volume of the translation of the La Galigo. Edited by Nurhayati Rahman, Co-editors Basiah and Roger Tol.

Hein Steinhauer & Hendrik D.R. Gomang, Kamus Blagar-Indonesia-Inggris. Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, Jakarta. xxvi, 304 p.
Kamus dwibahasa yang melibatkan tiga bahasa ini (Blagar, Indonesia, Inggris) memperkenalkan bahasa Blagar, salah satu bahasa “non-Austronesia” yang termasuk rumpun bahasa Timor-Alor-Pantar.
Bahasa Blagar ini sebenarnya merupakan suatu kelompok “dialek” yang kini jumlah penuturnya tidak melebihi 10.000 penutur. Dasar kamus ini adalah varietas bahasa Blagar yang digunakan di Pulau Pura, di antara Pulau Alor dan Pantar, khususnya dialek Pura Barat-Daya.

 

J.Keuning, Sejarah Ambon Sampai Akhir Abad Ke-17. Penerbit Ombak Yogyakarta; KITLV-Jakarta, Jakarta. x, 87 pp. This book is a translation of Dr J. Keunings article ‘Ambonnezen, Portugezen en Nederlanders. Ambon’s geschiedenis tot het einde van de zeventiende eeuw.’

The Indonesian edition of the author’s Culture, Power, and Authoritarianism in the Indonesian State (Brill, 2013) is a critical history of Indonesian cultural policy in the tumultuous twentieth century. It charts the influence of momentous political changes on the cultural policies of successive states, including colonial government, Japanese occupation, the killing and repression of the left and their affiliates, and the return of representative government, and examines broader social changes like nationalism and consumer culture.

 

Gerry van Klinken dan Ward Berenschot (editors), In search of Middle Indonesia. Kelas menengah di kota-kota Indonesia. Jakarta: KITLV-Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia, xi, 319 pp.

The post-1998 surge in local politics has moved the provincial town back to centre stage. This book examines the Indonesian middle class up close in the place where its members are most at home: the town. Middle Indonesia generates national political forces, yet it is neither particularly rich nor geographically central. This is an overwhelmingly lower middle class, a conservative petty bourgeoisie barely out of poverty and tied to the state. Middle Indonesia rather resists than welcomes globalized, open markets. Politically, it enjoys democracy but uses its political skills and clientelistic networks to make the system work to its advantage, which is not necessarily that of either the national elites or the poor.

 

Bart Barendregt and Els Bogaerts (editors), Merenungkan Gema. Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda. Jakarta: KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, xv, 403 pp.

Over time Dutch and Indonesian composers, performers and music scholars have inspired each other and they continue to do so. The presence of the Dutch in the Netherlands East-Indies and Indonesia, but also the existence of large diasporic communities in the Netherlands have contributed to a mutual exchange in musical terms: from military brass bands, classical and liturgical music to jazz, Indo rock and more recently world music. Yet, such musical interactions have often been shaped by unequal power balances, and very divergent motifs to start with. Recollecting Resonances offers musicological, historical and anthropological explorations into those musical encounters that have been shaped in both the past and present. The resulting mutual heritage can still be listened to today.

 

Gert Oostindie, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950. Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah. Jakarta: KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, xxvi, 369 pp.

Between 1945 and 1950 more than 200,000 Dutch soldiers were deployed in a war that would be judged as ‘wrong’ afterwards. Seventy years later, the biggest Dutch military operation ever is still an open nerve – forgotten, suppressed, and never fully investigated. There have been indications about war crimes during this period, but how systematic this was remains unclear. This book explores how the soldiers themselves wrote about the violence in letters, diaries and memoires. The examination of all known published personal documents, some seven hundred, yielded even more insights. The tension between faith in the Dutch mission and the unruly realities on the ground; about fear and shame; about frustrations with the military political leadership; about boredom, and anger over lost years; about the encounter of ‘polder’ boys with an exotic world; about understanding and misunderstanding for Indonesians and nationalism; about displacement in Indonesia, and subsequently at home. This publication gives voice to the soldiers, embedded in a broader analysis of the decolonization war and its processing in the Netherlands.

Tod Jones: Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan budaya selama abad ke-20 hingga era reformasi. Jakarta: KITLV-Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia. xv, 356 pp.

The Indonesian edition of the author’s Culture, Power, and Authoritarianism in the Indonesian State (Brill, 2013) is a critical history of Indonesian cultural policy in the tumultuous twentieth century. It charts the influence of momentous political changes on the cultural policies of successive states, including colonial government, Japanese occupation, the killing and repression of the left and their affiliates, & the return of representative government, and examines broader social changes like nationalism & consumer culture.

 

J.J. van Sevenhoven, Lukisan tentang Ibu Kota Palembang. Penerbit Ombak Yogyjakarta; KITLV-Jakarta Jakarta. xiv, 114 pp.

This book which describes the city of Palembang in the beginning of the 19th century is a reprint of the first edition that appeared in 1971 by Bharata, within the framework of the translation series of Dutch publications, a cooperation between KITLV and LIPI. The original article, “Beschrijving van de Hoofdplaats van Palembang” was published in VBGKW IX, 1825, pp 41-126.

 

 

Gerry van Klinken, The making of Indonesia, Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930-an-1980-an.Jakarta: KITLV-Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia, xx, 373 pp.

What holds Indonesia together? ‘A strong leader’ is the answer most often given. This book looks instead at a middle level of society. Middle classes in provincial towns around the vast archipelago mediate between the state and society and help to constitute state power. ‘Middle Indonesia’ is a social zone connecting extremes. The Making of Middle Indonesia examines the rise of an indigenous middle class in one provincial town far removed from the capital city. Spanning the late colonial to early New Order periods, it develops an unusual, associational notion of political power. ‘Soft’ modalities of power included non-elite provincial people in the emerging Indonesian state. At the same time, growing inequalities produced class tensions that exploded in violence in 1965-1966.

Susi Moeimam dan Hein Steinhauer: Kamus Belanda-Indonesia; Cet. ke-3. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama & KITLV-Jakarta. xlvii, 1.263 pp.

Reprint of this comprehensive Dutch-Indonesian dictionary. Mentions noun gender, plural forms, pronunciation, and other features specifically directed to Indonesian speakers.

 

 

 

Reimar Schefold: Aku dan orang Sakkudei: Menjaga jiwa di rimba Mentawai. Jakarta: Penerbit Buku Kompas & KITLV-Jakarta. xxi, 372 pp.

Indonesian edition of the author’s memoires narrating his experiences during anthropological fieldwork in the 1960’s with the Sakkudei people on the Mentawai islands. The original Dutch edition “Wees goed voor je ziel” was published in 2012 and became an instant success.

 

 

 

Harry A. Poeze, C. van Dijk, dan Inge van der Meulen: Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950; Cet. ke-2. Jakarta: KPG & KITLV-Jakarta. xii, 412 pp.

Luxurious reprint of this standard work on Indonesians residing in the Netherlands during the colonial period. The first Indonesian edition was published in 2008 and the original Dutch version came out in 1986.

 

 

P, Worsley et al.(ed): Kakawin Sumanasantaka. Mati karena Bunga Sumanasa karya Mpu Monaguna. Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta. xv, 628 pp.

Voluminous text edition with full translation and commentary of this 13th-century Old Javanese epic poem by Mpu Monaguna.

 

 

 

Harry A. Poeze, Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi.Jilid 4: September 1948 – Desember 1949. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; KITLV-Jakarta. viii +489 pp.

The fourth volume of the Indonesian edition of the author’s magnum opus on Tan Malaka. It contains an additional chapter on the recent discovery of Tan Malaka’s grave and identification of his remains.

 

 

 

Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika social-politik dalam perkembangan hukum di Indonesia. Jakarta: HuMa; KITLV-Jakarta; VVI Leiden, Epistema Institute, ix, 242 pp.

This is the revised edition of Soetandyo Wignjosoebroto’s masterpiece about the history of the establishment of law in Indonesia under colonial rule. It deals with issues that emerged when colonial law was introduced in a colonized country with a diversified customary law system. The focus in this book is on the political economic influence on law policy, both under colonial rule and after the independence of Indonesia. This book is very relevant as it provides insight in the development of an Indonesian national law system, which is still not completely detached from the remnants of the colonial law system.

Translate »